Senin, 30 Agustus 2010

Jangan Biarkan Hidup Anda Diganggu FOBIA


phobia_by_phillip_garcia.jpgFobia, satu bentuk gangguan jiwa ringan yang membuat penderitanya selalu ketakutan ketika berhadapaan dengan sesuatu yang sebenarnya bukanlah ancaman. Jika tidak ditangani dengan benar, fobia bisa mengganggu kehidupan. “Hiiii…!” teriak Ari, seorang karyawati perusahaan asuransi di jakarta, sambil memalingkan wajahnya yang terlihat sangat ketakutan ketika seorang pedaganng asongan menawarkan selusin penitikepadanya. “Aku paling enggak tahan melihat peniti, apalagi yang warnanya perak! Rasanya seperti mau pingsan!” kata Ari menjelaskan reaksinya yang aneh itu setelah ia sedikit tenang.
Memang sulit bagi orang yang tidak memiliki fobia untuk mengerti mengapa ada orang yang ketakutan setengah mati pada hal-hal yang sepele. Ketakutan Ari bisa dibilang tak terlalu mengganggu, karena toh tanpa peniti, Ari masih bisa menjalankan aktivitas hidupnya dengan normal. Tapi coba bayangkan nasib penderita fobia yang takut pada tempat terbuka dan orang banyak. Setiap kali keluar rumah, kepalanya terasa pusing, keringat dingin keluar, dan jantung berdebar keras. Betapa sengsaranya dia. Kenapa bisa terjadi ketakutan semacam itu? Bisakah disembuhkan?
Bukan rasa takut biasa
Merasa takut adalah hal yang alami. Ketakutan itu muncul ketika kita berhadapan dengan hal yang mengancam keselamatan dan hidup kita, seperti binatang buas, senjata tajam atau arus lalu lintas yang sangat ramai. Rasa takut memang dibutuhkan karena membuat kita tetap waspada dan siap bertindak untuk menghindar dari bahaya.
Tetapi, ketika rasa takut muncul rasa alasan yang jelas, terhadap benda atau situasai yang harus bersifat netral, kita harus mulai mencurigainya sebagai fobia. ‘Fobia adalah ketakutan yang luar biasa dan tanpa alasan terhadap sebuah obyek atau situasi yang tidak masuk akal,” kata Dr Nicholas Keks, profesor Departemen Peskiatri di Monash University, Australia, yang mengambil spesialis penanganan fobia. Sementara menurut Dr H.Tubagus Erwin Kusuma,SpKJ (K) psikiater dari Pro V clinic jakarta, fobia sebetulya adalah salah satu bentuk gangguan jiwa ringan. Saat berhadapan dengan situsi atau obyek yang mengganggu keyamananya, penderita fobia bisa gemetar, berkeringat dingin, jantungya berdebar keras, terkena serangan panik, bahkan mungkin sampai jatuh pingsan.
Obyek ketakutan bagi seorang penderita fobia bisa segala macam. Mulai dari yang umum dijumpai seperti takut pada ketinggian, naik pesawat, kilat dan guntur (brontophobia) atau berbicara di depan orang banyak, sampai pada hal-hal kecil yang tidak berbahaya, seperti takut pada jam (choronomentrophobia), takut pada selai kacang menempel di langit-langit mulut (aracibutyrophobia), komputer (cyberphobia) atau peniti seperti yang di alami oleh ari. Karena beragamnya obyek yang menjadi sumber ketakutan, fobia umumnya dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu fobia khusus (ketakutan terhadap obyek atau aktivitas tertentu), fobia sosial (ketakutan terhadap penilaian orang lain), danagoraphobia (takut berada di tempat terbuka atau pusat keramaian).
Semua orang bisa kena fobia
Penyebab fobia belum diketahui dengan pasti. Para ahli menduga fobia berkembang dari pengalaman tidak menyenangkan dimasa kanak-kanak yang berhubungan dengan sesuatu yang menakutkan. Pengalaman ini lalu tersimpan dalam memori; dan ketika ada faktor pencetusnya, ketakutan itu akan muncul kembali. Misalnya, orang yang pernah digigit anjing ketika kecil mungkin akan memiliki fobia terhadap semua jenis anjing yang ditemuinya ketika ia dewasa, dan reaksinya bisa semakin bertambah parah seiring perjalanan waktu.
Fobia juga bisa terjadi karena seseorang mengasosiasikan suatu benda dengan hal lain. Itulah sebabnya, benda-benda kecil yang tidak berbahaya bisa jadi sumber ketakutan luar biasa bagi seorang penderita fobia. Jadi objek yang membuat dia takut sekarang itu sebenarnya hanya simbol dari benda lain atau situasi tertentu, demikian Dr. Erwin menjelaskan. Misalnya, orang yang memiliki pengalaman traumatis terhadap ular, dikemudian hari ia menjadi ketakutan ketika melihat tas, sepatu atau benda lain dengan motif kulit ular. Atau, ada orang terhadap dodol berbungkus plastik karena bentuk bungkusan dodol menyerupai pocong, yaitu sumber ketakutan sebenarnya.
Fobia bahkan bisa terjadi pada beberapa orang dalam sebuah keluarga. Namun, Dr.Erwin menegaskan bahwa fobia tidak ada hubungannya dengan faktor genetik atau keturunan. Munculnya fobia pada beberapa anggota keluarga dalah hasil proses indentifikasi. “Anak melihat perilaku orang tuanya, yang kemudian ditangkap oleh alam bawah sadar, dan akhirnya muncul dalam perilaku si anak sehari-hari. Anak menganggap memang begitulah seharusnya cara menghadapi sebuah masalah,” kata Dr.Erwin. Anak yang tidak terlatih menghadapi masalah dengan benar akan lebih mudah mengalami trauma ketika berhadapan dengan pengalaman yang menimbulkan ketakutan luar biasa, yang berkembang menjadi fobia. Karenanya, Dr.Erwin menyatakan perlunya orangtua mengarahkan anak menghadapi ketakutan dengan benar. Misalnya, ketika anak takut masuk kamar yang gelap, orangtua menemani dan menunjukan tidak ada hal yang perlu ditakuti . Atau, jika anak takut pergi ke dokter gigi, kenalkan anak pada alat-alat yang di pakai oleh kedokteran sebelum ia masuk ke ruang pemeriksaan. Saat anak ingin naik tangga yang tinggi, jangan melarangnya sambil menyebutkan bahaya dan risikonya, tetapi justru jelaskan cara naik tangga benar agar terhidar dari bahaya. Selain itu, Dr.Erwin juga mengingatkan orangtua untuk tidak menakut-nakuti anaknya dengan hal-hal yang bersifat takhayul dan tidak nyata, seperti setan, genderuwo dan sebagainya.
Memang, orang yang paling rentan mengalami fobia adalah mereka yang daya tahannya lemah hal-hal dilingkungan sekitar yang bagi orang lain biasa saja, diterima oleh orang yang mentalnya lemah sebagai suatu pengalaman traumatis yang akhirnya menjadi fobia. Namun,orang dengan daya tahan mental kuat pun harus tetap waspada. ” orang sesehat apa pun bisa mengalami trauma, jika stressor dari lingkungan sangat kuat ,”tegas Dr.Erwin
Fobia bisa disembuhkanFobia cenderung diabaikan terutama jika fobia tersebut berefek ringan pada kehidupan sehari-hari karena objek yang ditakuti mudah dihindari. Fobia jenis ini jarang dianggap serius oleh penderitanya. Ari, misalnya, mengaku tak pernah berusaha menyembuhkan fobia terhadap peniti. ” Toh, kalau butuh peniti, saya masih bisa pakai yang warnanya emas. Kalau yang emas saya tidak takut,” katanya.
“Tapi menghindar dari obyek fobia tidak menyelesaikan masalah,” Dr.Erwin mengingatkan. Tanpa penanganan yang tepat fobia berpotensi mengganggu kehidupan dan keharmonisan hubungan dengan orang lain. Fobia sosial, misalnya, dapat mengurangi produktivitas kerja dan menghambat karir. Kalau sudah demikian, fobia yang tadinya dianggap sebelah mata bisa menimbulkan gangguan yang lebih parah, seperti kehilangan kepercayaan diri dan depresi.
Menyembuhkan fobia bisa dilakukan dengan beberapa cara:
1. Hipnosis. Caranya dengan memasukan sugesti-sugesti positif seperti sehat, tenang, da sebagainya. “Mental manusia itu seperti disket. Jika didalamnya ada rekaman-rekaman file yang bersifat negatif, kita bisa menghapusnya, lalu memasukkan program baru yang positif,” kata Dr.Erwin mengumpamakan.
2. Desensitisasi. Teknik ini dilakukan dengan menghadapkan seseorang pada sesuatu yang masih bisa diterima, lalu secara bertahap mendekatkannya dengan objek yang membuatnya takut. Misalnya, kalau seseorang takut pada gelap, biarkan dia berada dalam ruangan dengan lampu yang terang, lalu secara bertahap diganti dengan yang semakin redup. Tapi, Dr.Erwin mengingatkan, sebelum menjalankan teknik ini penderita fobia harus dibuat rileks terlebih dahulu.
3. Cognitive behavioral therapy. Terapi ini menggabungkan penanganan masalhkognitif dan perilaku. Dilakukan dengan mengajarkan pola pikir yang lebih realitas terhadap objek yang selama ini di hindari dan upaya yang mengubah reaksi spesifik seseorang ketika dihadapkan pada objek fobia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fobia dapat disembuhkan. Namun Erwin mengingatkan, proses penanganan terhadap fobia ini harus benar-benartuntas agar tidak kambuh lagi, atau bahkan muncul fobia baru ketika mendapat tekanandari lingkungan. Tujuan penanganan fobia tidak hanya sampai sembuh dari fobia, yang ditandai dengan tidak munculnya lagi gejala-gejala ketakutan ketika dihadapkan pada objek fobia, tetapi sampai penderita benar-benar sehat (’tahan banting’). Salah satu cara untuk melihat apakah mental seseorang benar-benar sehat menurut Dr.Erwin adalah dengan foto aura. Jika terlihat selubung besar dengan warna yang cerah, dan tidak ada energi negatif, maka bisa diyakini bahwa mental orang tersebut sudah sehat. Dengan kondisi tersebut, stres atau masalah yang akan datang di masa mendatang tidak menimbulkan trauma baru yang mungkin berkembang menjadi fobia.
Keberhasilan dan waktu yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan tentu saja ditentukan dengan oleh jenis fobia yang diderita, keinginan dan usaha keras dari penderita sendiri untuk menyembuhkan dirinya, ditambah dukungan dari orang-oarang disekitarnya.
Sumber: Veronica S, NIRMALA, Maret 2008

0 komentar:

Posting Komentar