Satu Tindakan Untuk Sebuah Perubahan

Salah satu bentuk penghargaan terhadap hidup kita adalah dengan menghargai hidup orang lain.

Satu Tindakan Untuk Sebuah Perubahan

Jangan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu, karena waktu tidak akan pernah tepat bagi mereka yg menunggu.

Satu Tindakan Untuk Sebuah Perubahan

Hidup bukan tentang seberapa besar kesalahanmu di masa lalu, tapi tentang bagaimana kamu memperbaiki diri dan kuat menjalani hari.

Satu Tindakan Untuk Sebuah Perubahan

Hidup ini terlalu singkat tuk menghabiskan waktumu mencemaskan apa yg orang lain pikirkan tentang dirimu. Jadi dirimu sendiri!

Satu Tindakan Untuk Sebuah Perubahan

Ambil pelajaran dari masa lalu, tinggalkan sisanya. Jangan biarkan belenggu kesedihan menutup jalanmu menuju masa depan.

Kamis, 19 Mei 2011

Mereka Juga Saudara Kita

KATA YANG TERLAHIR LEWAT RASA

Mereka jarang tersenyum bukan karena mereka enggan untuk tersenyum. Tapi hidup dan waktu seolah menuntut mereka untuk menghabiskan sebagian besar kehidupan untuk bekerja keras sehingga terkadang mereka lupa bahwa ada waktu untuk tersenyum. Seolah dunia begitu keras menuntut mereka hingga mereka lupa untuk tertawa. Lihatlah teman….bahkan mereka tidak punya waktu untuk tersenyum. Apa mereka lupa cara tersenyum? Atau karena mereka tak pernah menerima senyuman, makanya mereka tak tahu lagi bagaimana caranya tersenyum?
Terkadang aku melihat dunia memang terlalu keras pada mereka. Bukan dunia sebagai objek, tapi dunia dengan manusianya. Bagaimana jika sesekali kita tidak menghabiskan waktu di tempat-tempat yang indah? Kenapa kita tak meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan mereka? Jika tak mau atau tak mampu membantu mereka dengan materi, tidak ada salahnya juga kita menghargai mereka dengan sebuah senyuman ikhlas dari wajah kita. Bukankah mereka juga saudara kita???

Teman,,, andai kita punya waktu untuk memperhatikan kehidupan mereka yang begitu sederhana. Maka kita akan menemukan kehidupan yang begitu indah. Di sana kita sadar betapa lebih beruntungnya kita….
Teman… tidak ada salahnya sesekali kita berjalan kaki sendirian di tengah keramaian sambil memperhatikan lingkungan kita. Cobalah luangkan waktu sedikit saja untuk itu. Sekali lagi, jika tak dapat memberi pada mereka, paling tidak kita bisa sadar dan lebih memahami lagi hidup kita.
Aku bangga pada mereka. Mereka hebat. Dengan kehidupan yang begitu keras, mereka tetap bisa menjalaninya. Meski tak tahu dengan apa hidup ini akan dilanjutkan esok hari dan dengan apa perut mereka akan diisi, mereka tetap menanti datangnya mentari pagi. Mereka bilang kalau mereka percaya bahwa selama mereka masih hidup, maka rezeki dari Allah akan tetap ada untuk mereka,rezeki akan tetap ada selama mereka masih percaya dan mau berusaha serta berdo’a.
Mereka dengan kesederhaannya selalu bahagia dan bersyukur ketika mendapatkan sejumlah uang. Jika orang kaya yang menerima uang sejumlah itu, mungkin mereka menganggap uang itu tak berarti apa-apa. Tapi mereka tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca ketika mendapatkannya. Mengapa harus ada perbedaan seperti itu?

Jika si miskin datang ke rumah si kaya, sangat jarang atau bahkan tak akan ada sambutan hangat bagi mereka. Tapi, ketika si kaya yang datang ke rumah si miskin, maka si miskin terlihat begitu menghargai. Seolah mereka didatangi oleh tamu agung di rumahnya. Sekali lagi, mengapa harus ada perbedaan seperti itu?
Jika suatu ketika si miskin dengan pakaiannya yang tampak lusuh dan kotor terjatuh, maka si kaya tak akan menghiraukan karena mungkin bagi mereka tidak akan menimbulkan manfaat apa-apa bagi dirinya. Yang ada paling hanya akan mengotori pakaiannya, mungkin itulah yang ada di fikirannya. Tapi, si miskin masih tetap berbeda dengan si kaya. Ketika keadaan berbalik, maka si miskin akan tetap membantu. Si miskin begitu penghiba. Hati mereka begitu lembut, sehingga tak mampu membiarkan orang lain dalam kesusahan karena mereka tahu bagaimana rasanya kesusahan itu.
Ya Rabb….saudara-saudaraku itu mungkin di dunia tidak seberuntung yang lainnya. Mereka tidak dapat memiliki apa-apa yang mereka impikan. Tapi semoga mereka tetap bahagia dan penuh rasa syukur pada_Mu Rabb..
Ya Rabb…. Sayangi saudara-saudaraku itu. Jangan biarkan mereka jauh dari_Mu. Ingatkan mereka selalu bahwa ada Engkau yang tetap menyayangi dan menjaga mereka. Dan berikanlah selalu semangat bagi mereka.
Ya Rabb… Berikan hati yang lembut pada mereka. Jangan biarkan kerasnya perlakuan yang mereka dapat menjadikan hati mereka ikut keras. Tapi jadikan kekerasan yang mereka terima itu sebagai bahan untuk lebih membuat hati mereka jernih melihat segala sesuatu.
Ya Rabb…Jangan biarkan rasa rendah diri melekat pada diri mereka akibat cemooh yang mereka terima. Tapi biarkan rasa rendah hati bersemayam pada diri mereka. Jagalah mereka agar tetap yakin akan kuasa_Mu dan agar mereka tetap beribadah kepada_Mu sehingga mereka dapat bertemu dengan kebahagiaan yang hakiki bersama_Mu.
Mungkin benar bahwa aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya seorang anak yang bahkan sampai saat ini masih bergantung pada orang tuaku. Lalu apa yang dapat aku lakukan??? Ya…kalian boleh mengatakan bahwa aku tak bisa apa-apa.

Tapi mereka tetap saudaraku. Dan sekarang, aku hanya bisa berdo’a untuk mereka semua, di manapun mereka berada. Meski tak tahu apa-apa tentang mereka, yang jelas, satu hal yang sangat aku tahu bahwa MEREKA ADALAH SAUDARAKU……
Maaf jika terlintas pemikiran bahwa tampaknya aku terlihat lebih berpihak pada si miskin. Tapi, jujur, bagaimana pun juga aku memang lebih menyayangi si miskin. Namun, bukan berarti pula aku membenci si kaya karena aku juga tahu bahwa Allah tidak pernah membenci seseorang karena dia kaya atau miskin. Hanya saja, tulisan ini ku buat ketika aku melihat apa yang ku ceritakan saat ini. Dan bukan berarti hal ini harus terjadi selamanya.
Yang jelas, aku sangat berharap, kaya atau miskinkah, yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai amanah yang diberikan kepada kita…
MAAf jika aku terlihat sok tahu. Bukan maksud mengurui karena aku sadar bahwa tak pantas diri ini menjadi seorang guru. Jika menemukan kebenaran, maka ambillah. Tuhan selalu menginginkan hamba Nya memperoleh kebenaran karena kebenaran itu niscaya hanya dari Nya. Tapi, jika hanya ada kesalahan dan keburukan dari tiap untaian kata, mungkin itu karena si penulis ini yang tak mengerti apa-apa atau masih terlalu bodoh memaknai kehidupan…

Bunga Mawar Di Hati Kita

motivasi kehidupanSuatu ketika, ada seseorang pemuda yang mempunyai sebuah bibit mawar. Ia ingin sekali menanam mawar itu di kebun belakang rumahnya. Pupuk dan sekop kecil telah disiapkan. Bergegas, disiapkannya pula pot kecil tempat mawar itu akan tumbuh berkembang. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Ia berharap, bibit ini dapat tumbuh dengan sempurna.
Disiraminya bibit mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dirawatnya pohon itu. Tak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera disianginya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah tumbuh kuncup bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum terlihat sempurna. Pemuda ini pun senang, kerja kerasnya mulai membuahkan hasil.
Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Ia tampak heran, sebab tumbuh pula
duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Ia menyesalkan mengapa
duri-duri tajam itu muncul bersamaan dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.
Sang pemuda tampak bergumam dalam hati, “Mengapa dari bunga seindah ini, tumbuh banyak sekali duri yang tajam? Tentu hal ini akan menyulitkanku untuk merawatnya nanti. Setiap kali kurapihkan, selalu saja tanganku terluka. Selalu saja ada ada bagian dari kulitku yang tergores. Ah pekerjaan ini hanya membuatku sakit. Aku tak akan membiarkan tanganku berdarah karena duri-duri penganggu ini.”
Lama kelamaan, pemuda ini tampak enggan untuk memperhatikan mawar miliknya. Ia mulai tak peduli. Mawar itu tak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini tampak merona sayu. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun meranggas dan layu.
=====
Sahabat, kisah tadi memang sudah selesai. Tapi, ada ada satu pesan moral yang bisa kita raih didalamnya. Jiwa manusia, adalah juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada ‘mawar’ yang tertanam. Allah lah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita. Layaknya taman-taman berbunga, sesungguhnya di dalam jiwa kita, juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.
Namun sayang, ada sebagian dari kita yang hanya melihat “duri” yang tumbuh. Merasakan hanya kelemahan yang ada pada dirinya. Merasa hanya menjadi beban bagi orang lain. Banyak dari saudara kita yang hanya melihat sisi buruk, sehingga dalam menjalani kehidupan ini dipenuhi dengan kepesimisan seolah menolak keberadaan mereka sendiri. Saudara kita itu sering kecewa dengan dirinya dan tidak mau menerimanya. Mereka berpikir bahwa hanya hal-hal yang melukai yang akan tumbuh dari nya. Sehingga menolak untuk “menyirami” hal-hal baik yang sebenarnya telah adadan tak pernah memahami potensi yang dimilikinya.
Mereka juga sebenarnya memiliki mawar yang indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tak menyadari, adanya mawar itu.
Sahabat, jika kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam jiwa itu,
kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul. Kita, akan terpacu untuk
membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan pada mereka akan keberadaan mawar-mawar itu, dan mengabaikan duri-duri yang muncul.
Semerbak harumn mawar pada hati mereka akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan yang ditawarkannya, adalah layaknya ketenangan air telaga yang menenangkan keruwetan hati. Mari, kita temukan “mawar-mawar” ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu  dalam jiwa-jiwa kita, dan kembali kita bagikan pada mereka yang merasa tersisih dan tersingkir. Mungkin, ya, mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tapi janganlah itu membuat kita berputus asa. Mungkin, tangan-tangan kita akan tergores dan terluka, tapi janganlah itu membuat kita bersedih nestapa. Kebahagiaan kita adalah saat kita menemukan mereka, jiwa-jiwa yang tersisih, jiwa-jiwa yang pesimis, tersenyum bahagia, seolah menemukan udara disaat mereka akan kehabisan oksigen

Kesempatan Dalam Kehidupan

Di sebuah ladang yang subur, terdapat 2 buah bibit tanaman yang terhampar. Bibit yang pertama berkata, “Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku sangat dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini. Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, serta kelembutan embun pagi di pucuk-pucuk daunku.”
Dan bibit yang pertama inipun tumbuh, makin menjulang.
Bibit yang kedua bergumam. “Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu, dalam kesendirian.
Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit yang kedua tadi, dan memakannya segera.
***
Teman, memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian, keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup. Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.
Sahabat, tiap pilihan selalu ada resiko yang mengiringinya. Namun jangan sampai ketakutan, keraguan dan kebimbangan, menghentikan langkah kita.
ps. “Bukalah setiap pintu kesempatan yang datang mengetuk, sebab, siapa tahu, pintu itu tak mengetuk dua kali.” (Hilman, Lupus I)

Jangan Pernah Kehilangan Harapan

sedih dan harapanKRISIS ekonomi berkepanjangan yang diikuti dengan kegagalan sejumlah aspek dari gerakan reformasi tampaknya mulai membuahkan pesimisme rakyat Indonesia akan masa depan bangsa. Orang menjadi kehilangan harapan, bahkan khawatir mengenai eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.
Deretan pertanyaan bisa terus bertambah dan rasa lelah itu akan semakin menjadi jika yang terbentang di depan mata hanyalah sisi gelap bangsa. Di saat itulah keputusasaan akan muncul, yang berarti berakhirlah sudah makna kita sebagai bangsa.
Mungkin ada baiknya kita mulai menengok ke sekeliling, mencoba mencari sinar pelita seredup apa pun. Banyak orang tak menyadari kehadiran pelita-pelita kecil itu karena yang didambakan adalah sinar terang gemerlap yang tak kunjung menyala.
DI sekeliling kita sebetulnya masih banyak individu-individu yang diam-diam berbuat sesuatu, menelurkan karyanya tanpa harapan pujian atau imbalan. Boleh jadi nama mereka hanya dikenal di komunitas kecilnya. Tak ada lomba atau kompetisi yang mempertarungkan kemampuan mereka.
Kita tengok Trisno Suwito, pria berusia 60 tahun, warga Dusun Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang begitu telaten mengumpulkan berbagai umbi langka untuk dikembangbiakkan. Umbi-umbian-yang pada tahun 1960-an menjadi penolong rakyat saat musibah kekeringan dan kelaparan datang-kini memang mulai dilupakan orang, bersamaan dengan diperkenalkannya penanaman padi.
“Padahal, bapak saya bilang, ‘Kalau kamu tetap menanam umbi, ketika ada kelaparan lagi, kamu tidak akan mati’,” kata Trisno, anak Noyo Semito, petani miskin di dusun itu. Menjelang akhir hayatnya tahun 2000, Noyo memintanya untuk menyelamatkan umbi-umbian langka dan menanamnya kembali di ladang.
Untuk mendapatkan umbi- kini Trisno dapat mengumpulkan sekitar 150 jenis umbi-setiap hari ia harus meniti bukit cadas tajam di sekitar desanya. Kadang kala ia temukan bibit di sela batu cadas, tinggal sebatang dan hampir mati.
Koleksi Trisno saat ini antara lain adalah gembili jempina (Dioscorea sp), gembili wulung/ungu (Dioscorea sp), umbi senggani ulo yang bentuknya mirip ular melingkar, umbi legi, compleng (Amorphopallus sp), coklok, katak (Dioscorea pentafolia), dan beberapa jenis ganyong (Kanna edulif).
Tentang koleksinya itu, Trisno yang tidak tamat pendidikan sekolah dasar (SD) hafal betul cirinya masing-masing, mulai dari bentuk daun, batang, duri, sampai bagaimana cara mengolahnya-terutama untuk umbi beracun-agar aman dikonsumsi. Bagi Trisno, mengumpulkan umbi-umbian seperti mengumpulkan harta karun.
“Untuk generasi sekarang dan yang akan datang,” kata Trisno yang sangat senang jika ada mahasiswa, kandidat doktor, atau peneliti datang bertanya atau bahkan meneliti koleksinya. “Saya merasa usaha keras saya dihargai,” ungkapnya.
SERUPA dengan Trisno, Hadi Jatmiko juga bisa dibilang pelestari alam kecil-kecilan. Kakek berusia 72 tahun ini gemar menanam bibit jati di tanah kosong yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Warga Dusun Jetis Kaliurang, Desa Sumber Agung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, ini sampai rela menjual kolam lele dan hasilnya habis dibelikan bibit jati. Ia pun rela “didiamkan” sang istri, yang menganggapnya sudah gila.
Tak kurang dari 4.000 bibit jati yang dibeli di Ngawi ditanam di tanah kosong tak produktif seluas 4.000 meter persegi. Padahal, untuk memperoleh tanah itu, ia harus membeli dengan pinjaman bank sebesar Rp 6 juta. Jaminannya hanya surat keterangan pensiunan pegawai negeri golongan II B.
Filosofi Hadi sederhana. Menanam jati sama saja belajar tentang kesejatian hidup karena hasilnya tak akan bisa dinikmati si penanam melainkan keturunannya. “Kalau tanah dibiarkan penuh semak belukar, sampai 20 tahun pun tetap jadi semak. Tetapi, kalau ditanami jati, 20 tahun lagi akan bernilai tinggi,” katanya.
Apa yang dirintis Hadi ternyata menular pada tetangganya. Mereka pun kini rajin menanam lahan kosong tak produktif dengan pokok jati sehingga di dusunnya terbentuk Kelompok Tani Jati Lestari. Dalam waktu empat tahun, kelompok ini beranggotakan 20 orang dan telah menanam 49.000 batang jati. Hadi pun kini makin kerap diminta menanam jadi di wilayah lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan sampai Sumatera Utara. Total tanah yang ditanami jati olehnya sampai 50 hektar.
SEMENTARA itu, di Karimunjawa, Jawa Tengah, nama Ismarjoko Budi Santoso (38) dikenal sebagai orang bersungguh-sungguh yang melestarikan penyu. Untuk urusan penyu yang sangat dilindungi ini sekurangnya telah ada tiga peraturan hukum yang memayunginya. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam mengancam penangkap penyu dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. UU ini lantas diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 7/1999 tentang Penyu Hijau sebagai Satwa Dilindungi dan Surat Keputusan Menteri Kehutan No 882 /Kpts/II/92 yang mengatur perlindungan penyu pipih dan penyu sisik.
Namun, aturan hukum hanyalah urusan hitam di atas putih. Yang terjadi di lapangan sendiri adalah persoalan hukum pasar. Daging dan telur penyu dicari orang untuk dikonsumsi, begitu juga karapas alias batok yang biasa dipakai sebagai suvenir. Hati Ismarjoko-yang sehari- hari berprofesi sebagai nelayan sekaligus pengumpul ikan- pun belakangan tergerak. Di satu sisi, ia ingin menyelamatkan penyu dari kepunahan, tetapi di sisi lain ia berniat membantu sesama nelayan. Dengan modal pas-pasan, ia pun membangun bak pembesaran tukik (anak penyu) berukuran 1,5 meter x 1 meter yang diisi air laut.
Supaya para nelayan bersedia melepas telur penyu yang dimiliki, Ismarjoko membelinya dengan harga dua kali lipat dari harga pasar. Meski tidak mudah menetaskannya di alam bebas- “Pernah tahun 2000 saya membeli 260 telur, sebanyak 124 butir di antaranya gagal menetas,” ujarnya pasrah-Ismarjoko tak patah semangat. Padahal, ia juga tahu, daya hidup tukik sangat rendah. Dari 1.000 tukik, paling hanya satu atau dua ekor yang bisa terus menjadi dewasa, suatu perjalanan yang membutuhkan waktu sampai 30 tahunan.
Tukik yang berusia 6-12 bulan itu kemudian harus dilepaskan ke laut. Sejak tahun 2000, tak kurang dari 700 tukik dikembalikan Ismarjoko ke habitatnya kendati ia menargetkan bisa meningkat sampai 300-500 anak penyu setiap tahunnya. “Pelepasan penyu seharusnya bisa menarik wisatawan karena artinya kita ikut terlibat dalam pelestarian penyu,” ujarnya menambahkan.
BETAPA besar pengabdian pelita-pelita kecil pada umat manusia bisa dilihat dari kesederhanaan dan sikap tanpa pamrih mereka. Tangan menghadap ke bawah, bukan menengadah ke atas. Artinya, menyumbangkan kemampuan diri lebih penting daripada meminta-minta bantuan orang.
Hermawati (48), misalnya, selama sepuluh tahun terakhir mendirikan sekolah, SD Tunas Nelayan, sekaligus menjadi guru bagi murid-muridnya tanpa bayaran sepeser pun. Di sebuah pulau kecil berukuran empat kilometer persegi, Pulau Burung-terletak 10 menit perjalanan dengan speedboat dari Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan- ia membangun “kandang sekolah” berukuran 3 meter x 6 meter. Dengan dinding papan, atap rumbia berlubang-lubang, dan lantai tanah yang setiap saat siap ambruk, sekolah yang dipimpin Hermawati ini lebih mirip kandang ternak daripada kelas belajar.
Ruangan itu disekat menjadi tiga kelas kecil yang menampung murid dari kelas 1 hingga kelas 5 sebanyak 35 orang. Tak heran jika jam belajar pun digilir masing-masing satu jam. Maklum, gurunya hanya satu, Hermawati sendiri.
“Saya sebenarnya bukan guru, saya hanya sekolah sampai sekolah rakyat. Setelah membangun sekolah ini, saya memang sempat ikut Kejar Paket B,” ujar Hermawati. Adapun yang mendorongnya membangun sekolah tak lain karena kasihan melihat nasib anak- anak nelayan yang tidak bisa membaca dan menulis. “Zaman sudah maju, tetapi kami semakin terbelakang,” katanya.
Sementara tak mungkin untuk menarik uang SPP apalagi uang “gedung”, Hermawati pun kelabakan membantu belajar anak-anaknya dalam soal buku pelajaran. Suatu kali ia pernah mengajukan proposal ke berbagai kantor pemerintah agar mereka dibantu dengan buku- buku pelajaran, tetapi tak sedikit pun tanggapan datang. Yang lebih memusingkan, murid-muridnya yang hendak melanjutkan ke kelas 6 SD ternyata mengalami kesulitan untuk pindah sekolah karena kualitasnya dianggap tak memadai. Kenyataan ini sungguh menyakitkan anak-anak Pulau Burung. Mereka hanya bisa melanjutkan pelajaran di sekolah madrasah.
MIRIP dengan kisah Hermawati, apa yang dilakukan Ibe Karyanto (41) di pinggiran Kali Malang, Jakarta Timur, secara total hanya diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. Begitu totalnya hingga nyaris tak ada harta benda pribadi yang layak untuk dirinya sendiri. Ibe tinggal bersama sekitar 80 anak jalanan selama 24 jam. Ruang pribadinya hanya kamar di barak berdinding kayu bekas. Ranjangnya dilapisi selembar kasur tipis. Harta “termewah” hanya kendaraan jip Toyota Hardtop butut keluaran tahun 1974.
Bersama dengan Sanggar Akar, ia menggerakkan dukungan banyak orang-termasuk pemusik, pematung, pembuat film, guru, dan mahasiswa-untuk kelangsungan hidup anak-anak termarjinalkan ini. Mereka membantu Ibe untuk mengajar musik, teater, menyablon, membuat patung, dan lain-lain. Sehari-hari Ibe mendampingi anak-anak itu hingga pukul 03.00 tanpa hari libur.
Sejak awal Ibe memang menggunakan pendekatan kesenian untuk mendidik anak- anak jalanan itu. Hasilnya lumayan, generasi pertama mereka kini sudah bisa menjadi andalan aktivitas sanggar. Bahkan, ada tujuh anak didik Ibe yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan mengambil bidang seni rupa, musik, desain, serta bahasa Inggris.
Dari orang-orang semacam Ibe, Hermawati, Hadi, Trisno, atau Ismarjoko sebenarnya Indonesia bisa berharap masih ada masa depan yang cerah di depan kita. Jangan pernah kita kehilangan harapan itu. (j10/aik/bsw/wis/amr/fit)
Sumber: Kompas – Kamis, 30 Desember 2004